Seoul -Shim Kyung Hwa, 34 tahun, tampak sibuk menata kembali busana yang baru saja dilihat dan dicoba konsumen. Di belakangnya, tampak ratusan helai kain aneka warna tersusun dalam lemari terbuka. “Belakangan permintaan hanbok meningkat, apalagi jika musim kawin tiba,” katanya saat ditemui Tempo di pusat Kota Jeonju, sekitar 196 kilometer dari ibu kota Korea Selatan, Seoul.
Dia adalah generasi kedua marga Hwa dalam bisnis pakaian tradisional Korea ini. “Sudah 20 tahun kami membuat dan menjual hanbok,” ujar Shim. Tokonya termasuk yang paling besar di sepanjang jalan penjual busana itu.
Mencuatnya pakaian tradisional tersebut seiring dengan mewabahnya drama-drama seri televisi dan film Korea yang berkembang bersama gaya mereka (K-Pop). Yoon A, salah seorang personel SNSD, atau Girls Generation, tampak cantik memakai hanbok bawah merah dan atasan kuning. Juga Kim Bum, aktor drama seri Korea, Boys Before Flower, tampak “cantik” dengan paduan warna putih dan biru muda.
Memang, K-Pop bukan hanya pada jenis musik dan tari, tapi juga gaya rambut, pernak-pernik, dan cara berpakaian. Namun di dalam negeri Korea sendiri, mendunianya K-Pop memicu orang-orang ingin mempertahankan tradisinya. Salah satunya hanbok. Tak mengherankan jika K-Pop lover juga mulai melirik busana tradisional Korea tersebut. “Perasaan ingin menunjukkan identitas nasional kembali kuat dengan perkembangan K-Pop,” kata sosiolog dari Sungkonghoe University, Yong Mi.
Hanbok--begitu istilah yang digunakan di Korea Selatan--atau Choson-ot (kata orang Korea Utara) adalah pakaian tradisional masyarakat Korea. “Han” berarti “Korea” dan “bok” berarti “pakaian”. Namun, walaupun secara harfiah berarti pakaian orang Korea, hanbok pada saat ini mengacu pada pakaian gaya Dinasti Joseon, yang biasa dipakai secara formal atau semiformal dalam perayaan atau festival tradisional. Dalam acara Gwangju Human Rights Award 2012 di Daedong Hall, 5.18 Memorial Culture Hall, sepasang pria dan wanita penyambut memakai hanbok.
Hanbok pada umumnya memiliki warna yang cerah, dengan garis yang sederhana serta tidak memiliki saku. Ada tiga elemen utama hanbok: jeogori atau baju, baji (celana), dan chima (rok). Kata Yong Mi, orang bisa diketahui identitasnya dari hanbok yang digunakan. Ibu tiri, ibu kandung, atau mertua memakai warna yang berbeda. Begitu juga kelas sosial, akan tampak dari bahan busana itu. Kalangan atas memakai bahan dari kain rami yang ditenun atau bahan kain berkualitas tinggi, seperti bahan yang berwarna cerah pada musim panas dan bahan kain sutra pada musim dingin. “Kami di sini 100 persen menggunakan sutra,” kata Shim.
Di Jooleehwa, toko milik Shim, hanbok dipatok seharga US$ 4.000-5.000, atau setara dengan Rp 38-47,5 juta. Di tempat lain, yang lebih umum, menurut Yong Mi, ada yang menjual lebih murah sekitar US$ 1.500, atau sekitar Rp 15 juta.
Hanbok dipakai sesuai dengan peristiwa tertentu: perkawinan, kematian, pesta, perayaan nasional, pakaian sehari-hari, termasuk untuk hari ulang tahun pertama anak. Bahkan hanbok modern untuk anak-anak biasanya dipakai satu atau dua kali setahun dalam perayaan Chusoek atau tahun baru Korea (Seollal). Dalam tradisi perayaan ulang tahun pertama seorang bayi (Doljanchi), anak-anak memakai hanbok pertama mereka. Tak aneh jika ada ungkapan “busana menunjukkan bangsa”. Selain masuk dalam arus globalisasi, pakaian tradisional patut dipertahankan. Beruntung, Indonesia punya batik, kebaya, lurik, songket, dan sebagainya.
Dia adalah generasi kedua marga Hwa dalam bisnis pakaian tradisional Korea ini. “Sudah 20 tahun kami membuat dan menjual hanbok,” ujar Shim. Tokonya termasuk yang paling besar di sepanjang jalan penjual busana itu.
Mencuatnya pakaian tradisional tersebut seiring dengan mewabahnya drama-drama seri televisi dan film Korea yang berkembang bersama gaya mereka (K-Pop). Yoon A, salah seorang personel SNSD, atau Girls Generation, tampak cantik memakai hanbok bawah merah dan atasan kuning. Juga Kim Bum, aktor drama seri Korea, Boys Before Flower, tampak “cantik” dengan paduan warna putih dan biru muda.
Memang, K-Pop bukan hanya pada jenis musik dan tari, tapi juga gaya rambut, pernak-pernik, dan cara berpakaian. Namun di dalam negeri Korea sendiri, mendunianya K-Pop memicu orang-orang ingin mempertahankan tradisinya. Salah satunya hanbok. Tak mengherankan jika K-Pop lover juga mulai melirik busana tradisional Korea tersebut. “Perasaan ingin menunjukkan identitas nasional kembali kuat dengan perkembangan K-Pop,” kata sosiolog dari Sungkonghoe University, Yong Mi.
Hanbok--begitu istilah yang digunakan di Korea Selatan--atau Choson-ot (kata orang Korea Utara) adalah pakaian tradisional masyarakat Korea. “Han” berarti “Korea” dan “bok” berarti “pakaian”. Namun, walaupun secara harfiah berarti pakaian orang Korea, hanbok pada saat ini mengacu pada pakaian gaya Dinasti Joseon, yang biasa dipakai secara formal atau semiformal dalam perayaan atau festival tradisional. Dalam acara Gwangju Human Rights Award 2012 di Daedong Hall, 5.18 Memorial Culture Hall, sepasang pria dan wanita penyambut memakai hanbok.
Hanbok pada umumnya memiliki warna yang cerah, dengan garis yang sederhana serta tidak memiliki saku. Ada tiga elemen utama hanbok: jeogori atau baju, baji (celana), dan chima (rok). Kata Yong Mi, orang bisa diketahui identitasnya dari hanbok yang digunakan. Ibu tiri, ibu kandung, atau mertua memakai warna yang berbeda. Begitu juga kelas sosial, akan tampak dari bahan busana itu. Kalangan atas memakai bahan dari kain rami yang ditenun atau bahan kain berkualitas tinggi, seperti bahan yang berwarna cerah pada musim panas dan bahan kain sutra pada musim dingin. “Kami di sini 100 persen menggunakan sutra,” kata Shim.
Di Jooleehwa, toko milik Shim, hanbok dipatok seharga US$ 4.000-5.000, atau setara dengan Rp 38-47,5 juta. Di tempat lain, yang lebih umum, menurut Yong Mi, ada yang menjual lebih murah sekitar US$ 1.500, atau sekitar Rp 15 juta.
Hanbok dipakai sesuai dengan peristiwa tertentu: perkawinan, kematian, pesta, perayaan nasional, pakaian sehari-hari, termasuk untuk hari ulang tahun pertama anak. Bahkan hanbok modern untuk anak-anak biasanya dipakai satu atau dua kali setahun dalam perayaan Chusoek atau tahun baru Korea (Seollal). Dalam tradisi perayaan ulang tahun pertama seorang bayi (Doljanchi), anak-anak memakai hanbok pertama mereka. Tak aneh jika ada ungkapan “busana menunjukkan bangsa”. Selain masuk dalam arus globalisasi, pakaian tradisional patut dipertahankan. Beruntung, Indonesia punya batik, kebaya, lurik, songket, dan sebagainya.
0 komentar:
Posting Komentar